Chitika.com

Selasa, 08 Februari 2011

Legenda Aksara Jawa


Pangeran Adji Saka (3000-100 SM)


Setelah benua Atlantis Tengelam tersebutlah sebuah teori geologi kuno yang menyatakan bahwa, proses terbentuknya daratan yang terjadi di Asia belahan selatan adalah akibat proses pergerakan anak benua India ke utara, yang bertabrakan dengan lempengan sebelah utara. Pergerakan lempeng bumi inilah yang kemudian melahirkan dereta Gunung Himalaya.Konon, proses tersebut terjadi pada zaman es mencair ribuan tahun yang silam. Anak benua yang di selatan sebagian terendam air laut, sehingga yang muncul di permukaan adalah gugusan-gugusan pulau yang merupakan mata rantai gunung berapi. Gugusan pulau-pulau di Asia Tenggara, yang sebagian di sebut  Nuswantoro (Nusantara), yang pada zaman dahulu disebut Sweta Dwipa. Dari bagian daratan ini salah satunya adalah gugusan anak benua yang disebut Jawata (tanah para Dewa ) atau Jewawut (padi-padian)yang tumbuh subur,dan  yang satu potongan bagiannya adalah gugusan pulau-pulau yang bertebaran sampai semenanjung Selandia,Australia dan Papua(Kepulauan Polonesia).

Kata Jawata di artikan pula sebagai guru atau gurunya orang Jawa.Maka munculah peradaban baru di bekas reruntuhan kejayaan lama ,Kata Wong dari istilah jawa adalah kata Wahong, dan Tiyang dari kata Ti Hyang, yang berarti keturunan atau berasal dari Dewata. Konon karena itulah pulau Bali sampai kini masih dikenal sebagai pulau Dewata, karena juga merupakan potongan dari benua Sweta Dwipa atau Jawata.Mengingat kalau dulunya anak benua India dan Sweta Dwipa atau Jawata itu satu daerah, maka tidak heran kalau ada budayanya yang hampir sama, atau mudah saling menerima pengaruh. Juga perkembagan agama di wilayah ini, khususnya Hindu dan Budha yang nyaris sama.

Al kisah, dalam kunjungan resminya sebagai utusan raja, Empu Barang atau nama bangsawannya Haryo Lembusuro, seorang pandhita terkemuka tanah Jawa, berkunjung ke Jambu Dwipa (India).
Sesampainya menginjakkan kaki di negeri Hindustan ini, oleh para Brahmana setempat, Empu Barang diminta untuk bersama-sama menyembah patung perwujudan Haricandana (Wisnu). Namun, dengan kehalusan sikap manusia Jawa, Empu Barang menyatakan bahwa sebagai pandhito Jawa, dia tidak bisa menyembah patung, tetapi para Brahmana India tetap mendesaknya, dengan alasan kalau Brahmana dinasti Haricandana menyembahnya karena Wisnu dipercaya sebagai Sang Pencipta Tribuwana.
Dengan setengah memaksa, Empu Barang diminta duduk, namun sewaktu kaki Empu Barang menyentuh tanah, tiba-tiba bumi bergoyang (tidak disebutkan berapa kekuatan goyangannya dalam skal ritcher). Yang jelas, saking hebatnya goyangan tersebut, patung tersebut hingga retak-retak.Memang, menurut tata cara Jawa, penyembahan kepada Sang Penguasa Hidup itu bukan patung, tetapi lewat rasa sejati kepada Tuhan yang Maha Esa, sehingga hubungan kawula dengan Gusti menjadi serasi. Itulah Jumbuhing Kawula Dumateng Gusti.

Orang Jawa melakukan puja-puji penyembahan kepada Gustinya langsng dari batinya, maka itu dalam perkembangannya disebut aliran Kebatinan atau perkembangan selanjutnya dikenal dengan istilah Kejawen, karena bersumber dari Jawa.

Bagi orang Jawa tentang cerita waktu bumi Jawa belum dihuni manusia, telah dihuni oleh golongan dewa-dewi dan makhluk halus lainnya. Dan salah satu putra Sang Hyang Jagad Girinata, yaitu Bathara Wisnu turun ke arcapada kawin dengan Pratiwi, dewi bumi.Dalam pemahaman kejawen, hal itu disikapi dengan terjemahan, kalau Wisnu itu artinya urip/hidup, pemelihara kehidupan. Jadi jelasnya awal mula adanya kehidupan manusia di bumi, atas izin Sang Penguasa Jagad. Dewa perlambang sukma, manusia perlambang raga. Begitulah hidup manusia, raganya bisa rusak, namun sukmanya tetap hidup langgeng.
Kemolekan bumi Jawa laksana perawan rupawan yang amat jelita, sehingga Kerajaan Rum (Ngerum) yang dipimpin Prabu Galbah, lewat laporan pendeta Ngali Samsujen, begitu terpesona karenanya. Maka diutuslah dutanya yang pertama yang bernama Hadipati Alip.Di Kemudian hari ,Hadipati Alip berangkat bersama 10.000 warga Ngerum menuju Nuswa Jawa. Mereka dalam waktu singkat meninggal terkena wabah penyakit. Tak tersisa seorang pun. Lalu dikirimlah ekspedisi kedua dibawah pemimpinan Hadipati Ehe. Malangnya, mereka juga mengalami nasib sama, tupes tapis tanpa tilas.Dilanjutkan dengan
Masih diutus rombongan berikutnya,sayang seperti halnya utusan terdahulu, seperti Hadipati Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir. Semuanya mengalami nasib sama, tumpes kelor tak tersisa.

Melihat semua itu, Prabu Galbah yang sudah lanjut usia terkejut dan mengalami tekanan batin hebat. Akibatnya karena tak kuat menanggung derita. Di kemudian hari jatuh sakit, dan dalam waktu tak lama mangkatlah sang raja besar.Dengan adanya kekosongan tahta berakibat terjadinya perebutan kekuasaan di lingkungan dalam istana yang berlarut - larut.Pendeta Ngali Samsujen, merasa bersalah karena nasehatnya menimbulkan malapateka ini terjadi. Akhirnya beliau mati dalam rasa bersalah. Tinggal Mahapati Ngerum, karena rasa setianya, dia ingin melanjutkan missi luhur yang dicita-citakan rajanya. Dia akhirnya ingat pada sahabatnya yang sakti, bersanama Jaka Sangkala alias Aji Saka, yang tinggal di Tanah Maldewa atau Sweta Dwipa berangkatlah rombongan besar dengan armada kapal menyebrangi lautan menuju tanah Jawa.

Habisnya para migran dari Ngerum ke Tanah Jawa itu, menurut Jaka Sangkala adalah karena hati mereka yang kurang bersih. Mereka tidak meminta izin dahulu pada penjaga Nuswa Jawa. Padahal, karena sejak zaman dahulu, tanah ini sudah ada yang menghuni. Yang menghuni tanah Jawa adalah manusia yang bersifat suci, berwujud badan halus atau ajiman (aji artinya ratu, man atau wan artinya sakti).Selain penghuni yang baik, juga dihuni penghuni brekasakan, anak buah Bathara Kala. Makanya tak ada yang berani tinggal di bumi Jawa, sebelum mendapat izin Wisnu atau manikmaya atau Semar.Akhirnya, Mahapati Ngerum diantar Aji Saka menemui Wisnu dan isterinya Dewi Sri Kembang. Saat bertemu, dituturkan bahwa wadyabala warga Ngerum yang mati tidak bisa hidup lagi, dan sudah menjadi Peri Prahyangan, anak buah Batara Kala. Tapi ke-8 Hadipati yang gugur dalam tugas itu berhasil diselamatkan oleh Wisnu dan diserahi tugas menjaga 8 mata angina. Namun mereka tetap menghuni alam halus.Atas izin Wisnu, Mahapati Negrum dan Aji Saka berangkat ke tanah Jawa untuk menghadap Semar di Gunung Tidar. Tidar dari kata Tida; hati di dada, maksudnya hidup. Supaya selamat, oleh Wisnu, Mahapati Ngerum dan Aji Saka diberi sifat kandel berupa rajah Kalacakra, agar terhindar dari wabah penyakit dan serangan anak buah Batara Kala.

Kisah di atas hanya merupakan gambaran, bahwa ada makna yang tersirat di dalamnya. Wisnu dan Aji Saka itu dwitunggal, bagaikan matahari dan sinarnya, madu dan manisnya, tak terpisahkan. Loro-loro ning atunggal.Maka itu, keraton Wisnu dan Aji Saka itu di Medang Kamulan, yang maksudnya dimula-mula kehidupan. Kalau dicermati, intinya adalah kawruh ngelmu sejati tentang kehidupan manusia di dunia, sejak masih gaib hingga terlahir di dunia, supaya hidup baik, sehingga kembalinya nanti menjadi gaib lagi, perjalanannya sempurna.

Singkat cerita, perjalanan ke tanah Jawa dipimpin oleh Aji Saka dengan jumlah warga yang lebih besar, 80 ribu atau 8 laksa, disebar di berbagai pelosok pulau. Sejak itulah, kehidupan di tanah Jawa Dwipa yang disebut masyarakat Kabuyutan telah ada sejak SM, tetapi mulai agak ramai sejak 3.000 SM...Setelah menjadi raja di kerajaan Medang Kamulan Prabu Aji Saka senang berkelana ke plosok penjuru negeri untuk melihat keadaan rakyatnya.Seiring berjalanya waktu,maka tersebutlah sebuah kisah ke gagahan satria bernama Aji Saka, memiliki dua utusan yang sangat setia. Dia lah penakluk Prabu Dewata Cengkar, raja raksasa yang paling kejam. Suatu ketika, Aji Saka harus melakukan perjalanan jauh.

Namun sebelum mengembara dia titipkan pusakanya kepada salah satu abdinya yang setia. Aji Saka berpesan, agar pusaka itu dijaga baik-baik dan tidak boleh diserahkan kepada siapa saja, kecuali setelah dia  pulang. Setelah berpesan, Aji Saka pun pergi melakukan perjalanan didampingi oleh abdi yang satunya. Karena sangat setia, kedua abdi itu mengikuti perintah dengan keteguhan hati. Di tengah perjalanan jauh tersebut, Aji Saka berjumpa dengan musuhnya yang sangat kuat. Segala upaya dan daya dia kerahkan untuk mengalahkan sang musuh. Musuh itu terlalu kuat. Satu-satunya cara untuk mengalahkannya, hanya dengan pusaka yang dia miliki. Maka, diutuslah sang abdi untuk mengambil pusaka. Sang abdi, mematuhi perintah dan segera pulang untuk mengambil pusaka Aji Saka. Sesampai di kediaman Aji Saka, terjadilah perdebatan yang sangat rumit antara abdi yang menunggu pusaka dengan abdi yang diamanati menjaganya. Yang satu, tidak bersedia menyerahkannya, karena menaati perintah Aji Saka. Sedangkan yang diutus untuk  mengambil, memaksa karena Aji Saka dalam keadaan bahaya. Perdebatan itu berujung pada pertempuran kedua abdi, yang sama-sama ingin memenuhi amanah. Akhirnya kedua abdi itu sama-sama wafat.

Begitulah kisah mengenai munculnya penggunaan huruf Jawa yang berjumlah 20 buah itu. Cerita legendaris yang kaya dengan nilai filosofis dan pelajaran berharga.
Kisah itu menyusun rangkaian huruf Jawa yang kita kenal sampai saat ini. ha na ca ra ka (Lima huruf pertama bermakna ada utusan, caraka adalah duta atau utusan) da ta sa wa la  (Lima huruf kedua bermakna saling berselisih, mempertahankan keyakinan) pa dha ja ya nya (Lima huruf ketiga bermakna, sama kuatnya) ma ga ba tha nga (Lima huruf keempat bermakna, sama-sama mati menjadi bangkai).Masih banyak kisah-kisah perjalanan hidup Prabu Aji Saka yang diceritakan dari mulut ke mulut menjadi legenda yang mewarnai kasanah cerita babat tanah jawa. To be continue.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tvOne WebNews - RSS Feed

Video